SYAIR PENJUAL KACANG
Al-Habib, seorang yang dikasihi oleh banyak orang dan senantiasa
didambakan kemuliaan hatinya, malam itu mengimami sholat isya suatu
jamaah yang terdiri dari para pejabat negara dan pemuka masyarakat.
Berbeda dengan adatnya, sesudah tahiyyat akhir diakhiri dengan salam,
Al-Habib langsung membalikan tubuhnya, menghadapkan wajahnya kepada para
jamaah dan menyorotkan matanya tajam-tajam.
“Salah seorang dari kalian keluarlah sejenak dari ruang ini,
“katanya, “Di halaman depan sedang berdiri seorang penjual kacang
godok.Keluarkan sebagian dari uang kalian, belilah barang beberapa
bungkus.” Beberapa orang langsung berdiri dan berlari keluar, dan
kembali ke ruangan beberapa saat kemudian.
“Makanlah kalian semua,” lanjut Al-Habib, “Makanlah biji-biji kacang
itu, yang diciptakan oleh Alloh dengan kemuliaan , yang dijual oleh
kemuliaan dan dibeli oleh kemuliaan.” Para jamaah tak begitu memahami
kata-kata Al-habib, sehingga sambil menguliti dan memakan kacang, wajah
mereka tampak kosong.
“Setiap penerimaan dan pengeluaran uang,” kata Al-Habib, “hendaklah
dipertimbangkan berdasarkan nilai kemuliaan. Bagaimana mencari uang,
bagaimana sifat proses datangnya uang ke saku kalian, untuk apa dan
kepada siapa uang itu dibelanjakan atau diberikan, akan menjadi ibadah
yang tinggi derajatnya apabila diberangkatkan dari perhitungan untuk
memperoleh kemuliaan.”
“Tetapi ya Habib,” seorang bertanya, “apa hubungan antara kita beli
kacang malam ini dengan kemuliaan?” Al-habib menjawab, “Penjual kacang
itu bekerja sampai larut malam atau bahkan sampai menjelang pagi. Ia
menyusuri jalanan, menembus gang-gang kota dan kampung-kampung.Di malam
hari pada umumnya orang tidur, tetapi penjual kacang itu amat yakin
bahwa Alloh membagi rejeki bahkan kepada seekor nyamuk pun. Itu taqwa
namanya. Berbeda dari sebagian kalian yang sering tak yakin akan
kemurahan Alloh, sehingga cemas dan untuk menghilangkan kecemasan
hidupnya ia lantas melakukan korupsi, menjilat atasan serta bersedia
melakukan dosa apa pun saja asal mendatangkan uang.”
Suasana menjadi hening.Para jamaah menundukkan kepala dalam-dalam.Dan
Al-Habib meneruskan, “Istri dan anak penjual kacang itu menunggu di
rumah, meunggu dua atau tiga ribu rupiah hasil kerja semalaman. Mereka
ikhlas dalam keadaan itu. Penjual kacang itu tidak mencuri atau
memperoleh uang secara jalan pintas lainnya. Kalau ia punya situasi
mental mencuri, tidaklah ia akan tahan berjam-jam berjualan.”
“Punyakah kalian ketahanan mental setinggi itu?” Al-Habib bertanya,
“Lebih muliakah kalian dibanding penjual kacang itu, atau ia lebih mulia
dari kalian? Lebih rendahkah derajat penjual kacang itu dibanding
kalian, atau di mata Alloh ia lebih tinggi maqom-nya dari kalian? Kalau
demikian, kenapa dihati kalian selalu ada perasaan dan anggapan bahwa
seorang penjual kacang adalah orang rendah dan orang kecil?”
Dan ketika akhirnya Al-Habib mengatakan, “Mahamulia Alloh yang
menciptakan kacang, sangat mulia si penjual kacang itu dalam
pekerjaannya, sera mulia pulalah kalian yang membeli kacang berdasar
makrifat terhadap kemuliaan…”. Salah seorang berteriak, melompat dan
memeluk tubuh Al-Habib erat-erat.
SEMOGA BERMANFAAT
add me in fb KI AGENG ZEIMBROUNX
Tidak ada komentar:
Posting Komentar